09 Juli, 2008

Teater Alternatif: Sebuah Indonesia yang Sakit

Oleh: Afrizal Malna

MANUSIA telah sangat sibuk dengan kaleng blek yang gedombrang-gedombreng. Tubuh dan kepala manusia sudah sangat gaduh. Manusia telah menjadi pusat kebisingan dalam pertunjukan Teater Laskar Panggung dari Bandung. Kepala manusia juga telah berada dalam kotak kerangkeng, beradu satu sama lain seperti hewan-hewan berkepala keras. Punggungnya yang telanjang telah menjadi tempat pembuangan reak, lendir yang keluar dari tenggorokan makhluk bertubuh besar dalam pertunjukan Sanggar Kampung Seni Banyuning dari Bali. Lalu mereka berteriak siapa yang mau menyumbang kemaluan untuk memperbaiki bangsa kita.

Buset.

Kita telah saling mereproduksi kekecewaan dan kebingungan menjadi kecemasan yang masif di atas pentas.

Dan lingkaran.

Apakah lingkaran yang berputar itu? Teater yang berputar dalam lingkaran yang dibuatnya sendiri. Apa yang harus kita lakukan menghadapi lingkaran berputar itu? Pelembagaan waktu dalam memori penonton mulai terusik, mekanismenya mulai terganggu. Kesadaran akan alur waktu mulai rusak. Waktu yang berputar sebenarnya sedang bergerak menuju ke manakah? Kita tak punya hak membuat plot waktu seperti lingkaran. Dan ruang harus diisi kembali oleh sikap negatif terhadap kekosongan.

Mengapa beberapa kelompok teater melakukan adegan berputar yang sangat lama, seakan-akan seluruh gerak waktu sedang ditarik kembali ke sebuah pusat-sebuah ajakan untuk berkumpul, seperti dilakukan Teater Kidung dari Solo, dan lampu yang dipadamkan cukup lama sehingga penonton mulai kasak-kusuk lewat suara batuk-batuk kecil. Bahkan sepanjang pertunjukan Teater Pasdokarma dari Bengkulu diisi dengan adegan berputar-lama, lama sekali. Atau pergantian blocking yang monoton, hampir tanpa peristiwa seperti dilakukan Teater Mata dari Aceh.

Inilah beberapa tema mengenai ruang yang muncul dalam Festival Teater Alternatif 2003 di Gedung Kesenian Jakarta (13-20 Oktober 2003), di samping tema tentang ambruknya keagungan manusia. Tema yang sama perihnya dengan adegan perempuan yang mengelap vaginanya dengan tisu setelah berhubungan seks instan dalam pertunjukan Teater Sim dari Jakarta. Tisu-dan-vagina dibuat berhubungan paralel dengan mulut-dan-kertas-koran-lewat adegan pemain yang terus memamah kertas koran: makhluk pemamah berita yang kesepian dan terluka, juga dilakukan Teater Laskar Panggung dari Bandung. Satir seperti ini berlanjut lewat penggambaran karakter pemimpin Indonesia yang mengenakan kostum terbuat dari bendera Amerika dalam pertunjukan Teater Cermin dari Jakarta.

Keseluruhan pertunjukan dalam festival teater alternatif itu adalah sebuah "Indonesia yang sakit".

Pembunuhan terhadap "superpemaknaan"

Hampir seluruh tema lingkaran dalam pertunjukan mereka adalah sebuah ritual terhadap kemacetan, jalan yang buntu, tak ada pertumbuhan, lingkaran berputar atas ruang monokultur yang kian menjerat dirinya sendiri. Lingkaran mati. Lingkaran yang membunuh pertumbuhan.

Lingkaran muram dan mencemaskan seperti ini mendapat padanan progresinya yang anarkis lewat beberapa pertunjukan yang mengangkat tema pembunuhan terhadap orang tua, seperti dilakukan Teater 70 dari Jakarta, Teater Satu Bandar Lampung, kematian ibu pertiwi dalam pertunjukan Teater Kopra dari Manado, Dewi Keadilan yang diperkosa lalu dihukum sebagai pelacur dalam pertunjukan Sanggar Kampung Seni Banyuning dari Bali.

Kenapa ayah dan ibu harus dinegasi? Karena keduanya telah menjadi "superpemaknaan" yang membuat ketegangan terhadap sesuatu yang tumbuh, yang sedang berproses. Superpemaknaan cenderung membuat nilai-nilai diberlakukan sebagai keharusan, bukan sebagai pembelajaran. Pembunuhan ayah dan ibu adalah solusi negatif terhadap kemacetan. Ayah dan ibu tidak memiliki klaim total dan universal terhadap keseluruhan gerak anak. Karena itu, sistem kodenya yang totaliter harus dibunuh.

Solusi negatif terhadap otoritas ayah dan ibu ini memang tidak berlanjut ke konsekuensi estetika teater sebagai estetika tanpa ayah dan ibu.

Menyaksikan sebagian besar pertunjukan merasa masih seperti memasuki museum teater. Pembagian kerja dalam kerja pertunjukan belum berubah antara sutradara dan aktor, pembagian peran seperti dramaturgi, juga belum berubah, bahkan sebagian terseret ke peran-peran stereotip. Metafora yang dibuat menjadi verbal: keadilan yang diperkosa digambarkan lewat pemeran perempuan yang diperkosa, ibu pertiwi yang sekarat juga digambarkan lewat pemeran perempuan tua, yang kurus dan menderita.

Tubuh aktor masih menjadi beban pelabelan atas sejarah dan peran stereotip lainnya. Tubuh yang jatuh bangun, menangis, tertawa, dan dijejali kostum yang membuat tubuh menjadi polutif. Sensitivitas tubuh terhadap ruang, terhadap orang lain, kode-kode di sekitarnya, terhadap kata, terhadap benda-benda, reaksi-reaksi kimiawi dan emosi yang menggerakkan seluruh unsur biologis yang dimiliki tubuh masih dianggap instrumen yang tidak memiliki kemungkinan.

Sikap artistik terhadap panggung, pencahayaan, posisi penonton-dan-yang-ditonton juga belum mampu memberikan muatan terhadap pengertian "alternatif" yang mau dicapai. Eksistensi ruang pertunjukan belum menjadi pusat eksplorasi, masih meminjam infrastruktur pertunjukan pada umumnya. Teater Obong dari Surabaya cukup menarik perhatian dengan membuat cahaya di antara jerami kering yang dibawa oleh pemainnya. Atau pekerja seks yang tawar-menawar dengan robot (mobil-mobilan elektronik) dalam pertunjukan Teater Sim.

Sebagian besar pertunjukan mereka adalah rekreasi terhadap bentuk-bentuk sebelumnya dari berbagai pertunjukan alternatif yang terjadi sejak paruh akhir dekade 1970 hingga 1990-an, yang sebelumnya dimarjinalkan, dianggap sulit dimengerti, tidak mendatangkan penonton, tetapi kini justru dibawa ke Gedung Kesenian Jakarta yang sebelumnya dianggap sangat tertutup untuk pertunjukan-pertunjukan yang belum memiliki rekomendasi publik atau dari politik legitimasi kesenian.

"Estetika tanpa ayah dan ibu" adalah sebuah kemungkinan awal untuk kehidupan teater masa kini untuk bisa lebih dekat dengan fenomena masing-masing yang dihadapi langsung sehari-hari.

Teater alternatif solusi arsitektural pertunjukan

Teater alternatif bukanlah bentuk. Teater alternatif adalah solusi. Ia cenderung menjadi seni konseptual yang lebih banyak bermain di tingkat eksplorasi struktur dan bukannya bentuk. Kualitas dari solusi yang mau ditempuh yang nantinya akan menentukan alternatif seperti apakah yang mau dicapai. Solusi merupakan kata kunci dari jalan alternatif yang akan ditempuh. Cara membaca "solusi-terhadap-hal-apa" yang dihadapi akan menentukan seluruh konsekuensi alternatif yang ditempuh.

Teater Mahakam dari Samarinda yang menggunakan estetika sastra lisan dalam membangun imajinasi ruang tiba-tiba menjadi alternatif. Pertunjukan mereka memperlihatkan konsekuensi representasi terhadap teks yang berpengaruh langsung terhadap representasi ruang. Ruang diciptakan dalam imajinasi penonton. Cerita disampaikan di atas panggung, tetapi visualisasi cerita justru berlangsung dalam imajinasi penonton yang dibangun lewat pengalaman masing-masing penonton.

Atau Teater Anka Adika dari Bandung yang mendekonstruksi mitos Sangkuriang. Dekontruksi pertama, menjadikan peristiwa pengusiran yang dilakukan ibunya, Dayang Sumbi, terhadap Sangkuriang yang telah memakan jantung ayahnya sebagai momen editing perubahan ruang mitos menjadi ruang masa kini: Sangkuriang menjadi pengusaha sukses dan Dayang Sumbi menjadi penyanyi dangdut.

Dekonstruksi kedua, membangun telaga dan perahu dalam satu malam, diubah menjadi membangun mal dengan menggusur penduduk dalam satu malam. Gambar mal diturunkan dari atas panggung seperti pertunjukan wayang orang. Mal telah tercipta, tetapi penduduk yang telah tergusur berontak lalu membakar dan menghancurkan mal yang sudah tercipta. Ini pun tidak lantas Sangkuriang gagal mengawini ibunya. Sangkuriang tidak peduli dengan hukum keturunan bahwa Dayang Sumbi adalah ibunya. Dengan berbagai cara ia memburu ibunya yang telah menjadi penyanyi dangdut. Cinta ditempatkan di atas segala-galanya walaupun harus melawan kodrat.

Solusi visual yang dilakukan dua pertunjukan di atas ditempuh dengan cara lebih substansial lewat pertunjukan Laskar Panggung dari Bandung, yaitu lewat penggambaran orang-orang yang digusur dengan solusi ditempatkan pada arsitektural rumah. Menciptakan rumah yang bergerak, rumah yang bisa melarikan diri. Rumah yang tidak terikat lagi secara permanen dengan tempat, dengan tanah.

Dalam diskusi, sebagian peserta masih menempatkan pengertian alternatif kepada target pembauran yang ditempuh. Pertunjukan menjadi alternatif sejauh pembauran yang dicapai. Pembauran masih merupakan target dan klaim utama mereka. Sikap alternatif di sini membaur dengan sikap romantik terhadap kesenian yang masih memburu pembauran. Dimensi lain dalam teater masih diperlakukan sebagai lembaga permanen. Hubungan kerja, manajemen pertunjukan, hubungan dengan penonton, komunikasi yang mau dicapai belum dilibatkan sebagai kemungkinan yang bisa membongkar estetika yang telanjur menjadi rezim.

See u...

Selamat pagi untuk teater yang bebas bersikap terhadap ruang dan berbagai hubungan sebagai bagian penciptaan.

Afrizal Malna Aktivis Urban Poor Consortium.


sumber: kompas.com, 2 november 2003

PENTAS TEATER “KAPAI KAPAI” MIMPI MEMUNGUT IMPIAN

by MATDON


Abu dan Iyem sepasang suami istri miskin, pekerjaan Abu yang buruh pabrik tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, beras dan sembako lainnya naik deras sehingga kehidupan ekonomi keduanya makin terpuruk, ditambah kemalasan Abu yang kerap membuat Iyem marah.

Abu pun kemudian tenggelam dalam mimpi-mimpi indah, tiap saat ia bermimpi dapat menemukan cermin tipu daya yang dijanjikan Emak (mahluk semacam peri yang menuntun mimpi-mimpinya). Dongeng Emak telah mempengaruhi otak Abu demi mencapai impian menjadi orang kaya, cermin tipu daya yang didambakannya memang ia dapatkan meski berbarengan dengan maut yang menjemput.

Inilah sepenggal kisah dalam pementasan teater Laskar Panggung Bandung (LPB) dengan naskah “Kapai-Kapai” karya Arifin C Noer (alm) sutradara Kemal Ferdiansyah, di Gedung Kesenian Rumentang Siang Jl. Baranang Siang 1 Bandung, 9 – 14 Pebruari 2007.

Kapai-Kapai adalah cermin diri masyarakat kota dewasa ini, cermin manusia yang selalu menginginkan harta benda dengan cara yang mudah, mencuri, lewat dukun, memelihara tuyul atau korupsi. Ketidakpuasan manusia terhadap sesuatu yang diberi Tuhan inilah yang membuat manusia lupa akan dirinya.

Abu dalam pementasan Kapai-Kapai, dan kita dalam pementasan sesungguhnya, sama-sama berada dalam perjalanan yang nyata dan tidak nyata, tidak bisa membedakan mana mimpi mana kenyataan. Abu yang lugu dan bodoh tidak menyadari bahwa cermin tipu daya adalah senjata yang ada pada dirinya, sebuah cermin hidup yang dapat digali lewat pantulan diri sendiri. Namun lantaran jiwanya miskin ia terombang ambing oleh rayuan sang Emak yang memberi isyarat bahwa suatu saat perjalanan Abu terganjal batas kemampuan.

Abu memang akhirnya berhasil menemukan cermin tipu daya dan mencapai ujung dunia sampai ia ajal. ”Satu satunya kesalahan adalah kelahirannya dan ia bernama manusia, sekiranya Adam yang satu ini tidak memiliki apa-apa yang disebut impian, nisacaya ia dapat merasa aman, ia tidak akan tahu apa-apa, takan pernah memiliki apa-apa bahkan apa yang disebut mati,” ujar Bulan, salah seorang tokoh fiktif dalam lakon ini, demi melihat jiwa Abu yang miskin.

Neo Arifin C Noer?

Mengapresiasi pementasan “Kapai-Kapai” yang dimainkan LPB sangat menarik, naskah yang ditulis Arifin C Noer pada tahun 1968 ini merupakan naskah penting dalam dunia teater di Indonesia, Kapai-Kapai ikut mengawali titik mula teater modern Indonesia bersama WS Rendra. Gaya Arifin yang menyuguhkan absurditas lakon diatas panggung mampu ditafsir secara tegas oleh Kemal sebagai sutradara, lelaki kelahiran tahun 1978 ini

Memang dikenal oleh publik teater Bandung sebagai sutradara muda cerdas dan memiliki masa depan yang bagus.

Pemenggalan antara kisah Abu di alam nyata dan impian Abu merupakan sesuatu yang rumit, penonton diajak untuk memeras fikiran yang dapat menentukan kisahnya, namun Kemal berhasil melewatinya dengan tanpa cacat. Ini mengingatkan kembali gaya Arifin yang sesungguhnya. Sepeninggal Arifin pada bulan Mei tahun 1995 lalu, dunia teater nasional sangat kehilangan tokoh sutradara yang “nakal” dalam pemanggungan peristiwa, sampai akhirnya lahir LPB pada bulan Nopember 1995 dengan format gaya Arifinisme, bukan meniru tapi memaknai jiwa naskah Arifin. Bahkan selama 12 tahun LPB berkiprah dalam dinia teater, selalu memliki cirri khas yang tak dimiliki kelompok tetaer lainnya di Bandung khususnya.

Salah seorang pendirinya Yusef Muldiyana sekaligus penulis skenario dan sutradara, menggiring LPB menjadi teater dengan tarian, nyanyian dan gerakan yang khas. Selama 10 tahun Yusef dikenal publik teater nasional sebagai Neo Arifin C Noer sampai akhirnya ia berani “menyerahkan” tampuk penyutradaraan LPB pada Kemal dan pada naskah Kapai-Kapai ini Yusef menjadi salah seorang pemainnya. Nyatanya Kemal mampu mempertahankan ciri khas itu. Meski baru tiga kali menyutradarai tidak berlebihan kiranya jika Kemal merupakan Neo Arifin C Noer 2 setelah Yusef.

Kemal berteater sejak tahun 1996, sudah banyak naskah yang ia mainkan khususnya naskah naskah Arifin seperti Kucak Kacik, Tengul dll serta sejumlah naskah yang dutulis Yusef. Jebolan STB yang juga main di Actors Unlimited (AUL) dan Kelompok Maintetaer ini mengawali menjadi sutradara lewat “Semar Gugat” karya N. Riantirano dan “Aktor Mencari” yang ia tulis sendiri.

Menuurt Yusef, eksistensi sutradara dalam sebuah kelompok teater begitu penting, maka regenerasi sutradara di tanah air menjadi penting, sebab tanpa regenerasi, sebuah kelompok teater akan mati bersama kematian sutradaranya. Contoh ke arah situ sudah banyak, Teater Ketjil hilang ditelan sejarah seiring meninggalnya Arifin, Teater Populer tenggelam begitu Teguh Katrya wafat, terakhir STB yang dikenal sebagai kelompok teater tertua di tanah air hingga hari ini kesulitan mencari sutradara sekelas Suyatna Anirun.

Laskar Panggung rupanya sedang menghindari ketakutan itu……..


sumber: http://matazibril.multiply.com/

Kelurahan Cinta versi Laskar Panggung Bandung di STSI Bandung

Pentas Pasang-Pasangan Manusia di Kelurahan Cinta
by Argus Firmansah

Seorang suami dengan dua istrinya masuk ke pentas dan menari-nari, sesekali bergerak kaku dengan pakaian ala seniman. Nampaknya memang sutradara teater, Yusef Muldiyana bermaksud menyimbolkan kehidupan seniman yang selalu bergerak dengan tampilan compang-samping, disertai bahasa yang tidak dimenegrti oleh orang lain. Dan mereka tampak bahagia dengan begitu. Lampu meredup, hingga sedikit cahaya saja yang masuk ke pentas, sebuah fragmen film independepn mengisi ruang pentas di mana seorang istri menggantung diri setelah mondar-mandir dalam keputus-asaannya. Mereka yang bermain peran dalam garapan Laskar Panggung Bandung adalah: Kemal, Ria, Ucan, Feby, Ani, Arya, Tuti, Vira, Nineu, Gigi, Dona, Niki, Yopie, Niki Nugraha, Surya, Tomi, Arfan, Ndang, Usman, Babas, Yoyo, Alvin (lighting), Katho, Lukman, Azrin, Andrevo.

Terkesan mengerikan memang. Adegan pertama diawali dengan pemutaran frgamen film layaknya berita kriminal di televisi. Suasana dramatis itu dicairkan dengan suara nyanyian para ibu-ibu muda dan pelajar sekolah yang liriknya berbunyi, “Rame…rame…tidak sekolah….marilah kita bodoh bersama….Rame…rame…malas bekerja…..masrilah kita miskin bersama….” Penonton pun tertawa sembunyi-sembunyi mendengar seruan koor di samping panggung dengan setting vocal group itu.

Babak kedua narator dalam rupa master of ceremony memperkenalkan pasangan-pasangan yang hidup bermasyarakat di Kelurahan Cinta. Penonton tertawa terbahak ketika satu per satu memperkenalkan diri. Semua keluarga beristri lebih dari satu, kecuali Ikin yang beristri satu sebagai tukang cukur dan Euis pulen yang dipanggil Islen yang bersuami dua. Alkisah, Euis adalah wanita banal yang sering digerayami oleh pemuda dan suami-suami di Kelurahan Cinta. Tubuhnya yang seksi kontan membuat lelaki sekelurahan bernafsu padanya.

Pagi hari, setelah ayam berkokok, istri-istri rumahan membangunkan suami mereka untuk pergi mencari uang. Namun jawaban mereka saat dibangunkan selalu minta tenggang waktu sepuluh menit, setelah itu mereka baru mau bekerja mencari nafkah. Hari itu akan dilaksanakan Pilkada, pemilihan Lurah baru. Karena Lurah yang lama sakit menahun dengan jenis penyakit yang sangat parah dan susah untuk meu sembuh. Satu per satu para calon berorasi dengan rekaman video yang ditayangkan pada layar di belakang panggung. Uniknya di sana, semua calon menawarkan konsep-konsep yang menjerat masyarakat. Ada yang memang berniat menyengsarakan rakyat dengan korupsi, memeras, dan lain-lain. Kata kunci pidato mereka hampir semua sama. “Awas…Jangan pilih saya…Jangan Pilih Saya!!”

Tenang saja. Kampanye politik yang tidak lazim itu hanya ada di pentas teater musikal saja. Nama-nama partai pun terdengar unik dan plesetan, sebuat saja Partai Awal Nasional, Partai Asmara; singkatan dari Partai Aspirasi Masyarakat Ramai, Partai Kebra; Partai Kesejahteraan Para Koruptor. “Jangan Pilih Saya!! Ingat Itu!!” itulah moto mereka. Malam pun datang menjelang. Penonton disajikan adegan tempat perjudian. Pak Daramang kalah judi, sehingga pakaiannya harus ditanggalkan untuk membayar kekalahannya. Pulang ke rumah pun berbohong pada istri dengan mengaku bahwa pakaiannya disumbangkan kepada orang yang tidak mampu. Padahal sudah jelas dia kalah judi. Karena terdesak kebutuhan finansial keluarganya, istri Daramang meminjam uang kepada tetangga untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Daramang pun protes. “Kenapa pinjam uang ke tetangga? Dari mana kita membayar uang pinjaman itu,” ujar Daramang kesal pada istri.

Lain halnya dengan Ikin, si tukang cukur yang selalu bersuara kuda setelah namanya dipanggil istri kesayangannya. Ia bermimpi menjadi bintang film. Lampu di pentas kembali diredupkan. Sebuah fragmen film pendek karya Laskar Panggung Bandung ditayangkan. Dalam film itu Ikin berperan sebagai anak sedang memetik gitar membawakan lagu Iwan Fals yang berjudul “Ibu”. Namun yang menjadi bahan tertawaan penonton adalah peran Ikin dalam film itu sebagai pencuri. Peran itu disebabkan oleh tuduhan ibunya (dalam film) ketika memetik gitar handphone-nya berdering. Setelah ia menutup panggilan telepon dari kawannya, Sang Ibu merasa heran dari mana anaknya punya barang itu padahal belum pernah ibu dan bapaknya memberi uang lebih untuk membeli barang seperti itu.

Adegan kembali menyajikan Daramang. Setelah kalah judi dan pusing memikirkan bagaimana membayar uang yang dipinjam istrinya dari tetangga, Daramang berselingkuh dengan Euis. Hingga dikisahkan Euis hamil. Kedua sumi Euis pun bingung, itu anak siapa. ”Itu anak saya atau dia?” ujar suami Euis saling tunjuk satu sama lain.

Teman-teman Daramang yang suka main judi bersama Daramang melihat Melati, istri Daramang pergi dengan lelaki lain. Tentu saja informasi itu disampaikan kepada Daramang ketika main judi. Perselisihan pun terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga divisualkan dengan adegan pembunuhan Daramang oleh istrinya. “Sudah berapa wanita kau tiduri, Daramang?” Tanya Melati kepada suaminya sambil teriak kesal. “Seribu!” jawab Daramang, lalu balik bertanya, “Sudah berapa laki-laki yang menidurimu, Melati?” Dan Melati menjawab, “Seratus!” “Gila.” Sahut Daramang. Perselisihan pun berlanjut dengan perkelahian. Akhirnya, Daramang ditusuk dengan pisau dapur oleh istrinya. Karena takut juga istri Daramang menusukan pisau itu ke tubuhnya hingga ia pun mati.

Kabar terpilihnya Lurah baru diumumkan. Pemenangnya adalah Cep Durasim. Kontan Durasim marah-marah dan kecewa dengan hasil pemilihan Lurah itu. Padahal, “Saya kan sudah katakana…Jangan Pilih Saya!! Jangan Pilih Saya!!” katanya. Durasim menolak terpilih jadi Lurah, namun warga Kelurahan Cinta menyetujui hasil pemilihan tersebut. Karena tidak menolak jabatan maka Durasim melakukan hara-kiri alias bunuh diri. Kemudian bayi-bayi lahir tanpa ibu kandung mereka. Suasana tragedi kembali terasa. Suasana pentas menjadi chaos, kacau balau. Orang-orang berlarian ke sana kemari seperti diguncang gempa bumi yang dahsyat. Pementasan pun berakhir demikian.

***

Sebuah pementasan cantik dan menarik digelar oleh kelompok Laskar Panggung Bandung. Pementasan yang melibatkan aktor dan aktris pemula dari pelajar SLTP hingga mahasiswa itu mampu disajikan dengan cukup apik pada Sabtu malam (25) kemarin di Gedung Patandjala, STSI Bandung. Pentas teater yang disisipi dengan adegan film independen produksi Laskar Panggung Bandung berjudul “Rumah Dalam Kepala Kuda Atau Kelurahan Cinta”.

Pentas teater garapan Laskar Panggung Bandung malam itu berkisah tentang kehidupan pasangan-pasangan cinta orang-orang pinggiran di sebuah kelurahan yang namanya Kelurahan Cinta. Perselingkuhan, perjudian, hingga seks bebas menjadi peristiwa kehidupan manusia di sana sehari-harinya. Sebuah potret masyarakat yang malas, dan penuh libido biologis itu diperankan oleh pemain baru di panggung teater di Bandung. Namun demikian, permainan mereka sangat intens dan serius membawakan peran mereka masing-masing.

Imajinasi yang sederhana tentang kehidupan sehari-hari masyarakat pinggiran itu merepresentasikan masalah lapangan pekerjaan yang sulit, suami-suami berpoligami, ada juga seorang istri berpoliandri. Dengan alasan yang beragam padahal masyarakat di Kelurahan Cinta itu sudah lama meninggalkan shalat. Para suami bangun siang, dan malas mencari uang dengan pergi pagi-pagi. Keseragaman budaya nampak pada pagi hari ketika suami-suami atau istri yang mencari nafkah selalu bangun terlambat. Tiap kali mereka dibangunkan untuk pergi bekerja selalu beralasan, “Sepuluh menit lagi…saya masih ngantuk,” ujar para suami. Tentu saja gerutu istri-istri mereka terdengar dari bilik-bilik rumah kontrakan mereka.

Pentas teater musikal plus pemutaran fragmen film itu seolah menjadi bentuk trend baru dalam kancah teater di Bandung. Sebuah bentuk teater yang berangkat dari selera pasar. Karena memang harus diakui bahwa penonton sinema elektronik lebih menjanjikan ketimbang penonton teater. Apalagi memenej penonton baru dari segmen anak-anak muda. Tidak sedikit kelompok teater banting tulang, bahkan banting setir untuk menanamkan ingatan kolektif pada kelompok teaternya di kalangan generasi muda.

Apa yang dilakukan oleh Laskar Panggung Bandung memang bukan kali pertama yang menerapka strategi pemasaran dengan pengemasan baru dari produksi teaternya. Namun paling tidak, sebagai wadah kreatifitas anak-anak muda Bandung dalam kesenian teater di Bandung patut dihargai sebagai upaya menghidupkan teater di Bandung setelah Studiklub Teater Bandung di era tahun 1970-80-an.

Apalagi wacana teater modern masa kini banyak yang mengembangkan metabahasa dalam bentuk visualnya. Yaitu sebuah pertunjukan teater yang tidak lagi beranjak dari gagasan tekstual, sastra darama, melainkan gagasan artistik visual seperti misalnya menggunakan bahasa gerak tubuh. Tubuh sebagai teks dan subteks itu sendiri. Seperti yang telah diungkapkan Afrizal Malna dalam sebuah diskusi buku “Ekologi Sastra Lakon Indonesia” karya Jakob Sumardjo pada Sabtu (25/8) di GSG STSI Bandung. “Teater sekarang berjalan sendiri-sendiri. Dan teks tubuh tidak harus dimengerti sebagai kematian teks dramatik,” katanya.

(Argus Firmansah/Kontributor lepas Koktail - Jurnal Nasional)